Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang Powered By GSpeech
  Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech

Cara Mudah Telusuri Perkara

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 0458/DjA/HM.02.3/2/2016, tanggal 11 Februari 2016 tentang Implementasi Aplikasi SIPP Versi 3.1.1 di Lingkungan Peradilan Agama. maka peran Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP Versi 3.1.1), selanjutnya disebut sebagai SIPP, menjadi semakin penting dan diandalkan untuk proses administrasi dan penyediaan informasi baik untuk pihak internal, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Sistem Informasi Pengawasan
Mahkamah Agung Republik Indonesia

Sarana agar masyarakat pencari keadilan dapat mengawasi secara langsung pejabat Mahkamah Agung beserta jajaran di bawah naungan Mahkamah Agung RI serta terbukanya akses bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan di pengadilan.

Zona Integritas

Zona Integritas (ZI) adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi / Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik (PERMENPANRB No. 52 Tahun 2014). Pengadilan Agama Semarang menjadi salah satu unit kerja penerima apresiasi dan penganugerahan ZI.
Kami berkomitmen untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, melayani, dan bebas korupsi.

Tutorial Penyelesaian Gugatan Ekonomi Syariah

Video yang berisi tentang cara penyelesaian perkara ekonomi syariah dengan acara yang sederhana

e-Court Mahkamah Agung RI

Layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara secara Online, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya Perkara secara Online, Pembayaran secara Online, dan Pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik.

previous arrow
next arrow
Slider
                          
                  
                 
           
                 

 

 
 Zona Integritas PA Semarang 2024
     

Selamat Datang di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Agama Semarang


🔍
Cek Perkara


📆
Jadwal Sidang

📇
Informasi Perkara

⚖️
Perkara Gratis

📠
Biaya Perkara

📜
Produk Pengadilan

 


🧾
Prosedur Berperkara

📑
Syaratan Pendaftaran

📚
e-Brosur

📃
Contoh Format

🛡️
Pengawasan

🔔
Sosial Media
✆ SiNofita Whatsapp Layanan Informasi, Notifikasi, Konsultasi & Pengaduan: 0821-3872-2020

  

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

 

            Dalam salah satu kitabnya Tanbih al-Ghafilin,  Abu al-Laits al-Samarqandi  halaman 404  pada pembahasan “haq al-mar’ati ‘ala zaujiha” (Hak Perempuan Atas Suaminya), menulis sebuah riwayat tentang  seorang laki-laki yang  menghadap kepada Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khattab r.a. Kisah selengkapnya sebagai berikut:

…… ada seorang lelaki datang kepada Umar bin al-Khatthab. Ia mengadukan kepadanya tentang istrinya. Ketika lelaki itu sampai di pintu rumah Umar, ia mendengar istri Umar yaitu Ummu Kultsum membentaknya. Lelaki itu pun berkata (dalam hatinya), ‘Aku mau mengadukan kepadanya mengenai istriku. Namun, justru keadaannya sama saja denganku.’ Ia pun kembali, tetapi Umar malah memanggilnya. Umar pun menanyainya (mengapa ia pergi), ia menjawab, ‘Aku ingin mengadukan kepadamu tentang istriku. Tetapi ketika aku mendengar bagaimana sikap istrimu kepadamu yang barusan aku dengar, aku pun memutuskan kembali saja.’ Umar berkata, ‘Aku membiarkannya seperti itu karena ada hak-haknya yang harus aku tanggung. Pertama, ia adalah penghalang antara aku dengan neraka. Karena aku menjadikannya sebagai ketenanganku dari perkara (syahwat) yang haram. Kedua, ia adalah perbendaharaanku, karena ketika aku keluar dari rumahku ia yang akan menjaga hartaku. Ketiga, ia harus capek karenaku karena ia yang mencuci bajuku. Keempat, ia adalah orang yang mendidik anak-anakku. Kelima, ia yang menyiapkan roti dan masakan untukku.’ Lelaki itu pun berkomentar, ‘Sesungguhnya keadaan kita sama namun  justru aku tidak memaafkannya, maka aku akan memaafkannya.”

 

Terlepas adanya pro dan kontra mengenai kredibilitas riwayatnya, kisah tersebut di samping telah tertulis di beberapa kitab kuning yang lain, juga sering menjadi bahan ceramah para pendakwah ketika menyorot seputar perilaku istri yang hobi mengomel.

Secara empirik, cerita tetang seorang istri ‘ngomel’ tampaknya sudah masyhur terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Cerita ini biasa kita dapat ketika para suami berkumpul di lapangan tenis, di sawah, atau tempat lain yang khusus dihadiri kaum Adam, saling  curhat perihal perilaku istri mereka masing-masing. Biasanya cerita muncul, ketika ada seseorang yang lebih dahulu mengawali, baik sambil gurau maupun serius. Meskipun berbagai cerita itu ada yang lucu dan bahkan sedikit menggelikan, tetapi pada umumnya para kaum Adam ini membawakan cerita dengan penuh canda. Dan, pada akhirnya kebanyakan mereka menutup cerita dengan gelak tawa pertanda mereka sejatinya senasib dan perjuangan dalam meniti kehidupan keluarga, khususnya ketika menghadapi istri dengan aneka tingkahnya.

Terlepas dari fakta adanya suami yang memang brengsek, terjadinya berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, sering diakibatkan oleh ketidaktahanan para suami menghadapi omelan istri. Redaksi kalimat yang digunakan para istri sering di luar nalar. Dan, ketika suami berusaha menjelaskan pun, pada saat istri sedang sewot, tidak akan diterima. Justru diksi-diksi ‘berbahaya’ akan keluar dari mulut istri apabila dia sedang pada puncak kemarahannya. Ketika semua penjelasan tidak bisa diterima istri, tidak jarang suami yang “jaim” dan tidak tebal telinga, justru membalasnya secara tidak terduga, yaitu dengan kekerasan fisik. Padahal, kisah tentang istri mengomel tersebut memang sudah sangat ‘melegenda’.

Kisah ‘omelan’ perempuan yang paling monumental adalah peristiwa yang terjadi zaman rasulullah SAW, yaitu ketika ada salah seorang sahabat perempuan ‘berani’ mendebat rasulullah SAW perihal ketentuan hukum diberlakukan terhadapnya yang dirasakan tidak adil. Tidak sampai di situ, sahabat perempuan itu pun kemudian mengadukan ketidakadilan tersebut langsung kepada Allah SWT.  Yang luar biasa, ternyata pengaduannya direspon oleh Allah yang kemudian memberikan hukum sesuai dengan ekspektasinya. Sahabat perempuan itu tidak lain adalah Khaulah binti Tsa’labah istri Aus bin As-Shamit, yang memiliki paras cantik nan jelita. Dia menolak ajakan berhubungan seks saat suaminya sangat menginginkannya. Suaminya pun marah dan mengatakan “bagiku engkau adalah seperti punggung ibuku”. Setelah ucapan tersebut diadukan rasulullah SAW. Khaulah sangat tidak terima dan ‘mengomel’, ketika rasulullah SAW menghukumi ucapan suaminya sebagai talak dan tetap menyatakan bahwa setelah itu dia haram bagi suaminya.  Kisah keberaniannya terabadikan dalam Al Qur’an surat Al Mujadilah ayat 1 sampai 4 (artinya) sebagai berikut: 

“Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Al Mujadilah, 58: 1-4)

 

Tentang pengaduan kisah Khaulah tersebut, Gus Baha mempunyai catatan tersendiri. Dengan sedikit humor, beliau mengatakan, setidaknya menurutnya peristiwa Khaulah ini dapat dipetik 4 pelajaran, yaitu: 1. Bahwa baru kali itu  rasulullah SAWi didebat umatnya oleh orang perempuan pula. 2. Bahwa tidak hanya cukup didebat, beliaupun pun ‘dilaporkan’ kepada Allah. 3.              Perempuan itu memang luar biasa. Seorang nabi saja didebat, apalagi kita manusia biasa yang bukan nabi. 4. Laporan perempuan yang bernada protes tersebut ternyata didengar sekaligus direspon Allah.

            Akan tetapi dalam konteks hukum, kasus Khaulah sejatinya memberikan pelajaran bahwa ketidakadilan pada akhirnya memunculkan sikap nekat berupa keberanian sekaligus perlawanan. Dan, dalam kasus Khaulah itu keberanian dan perlawanan itu justru muncul dari seorang perempuan. Sehingga, kalau  ekspresi Khaulah itu boleh disebut sebagai suatu omelan, omelannya merupakan omelan berkelas yang pernah ada dari seorang perempuan. Wallahu a’lam.

 

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

 

(Marhaban Ya Ramadhan)

Salah satu ‘pernyataan’ yang paling populer setiap menjelang ramadhan tiba adalah kalimat “Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”. Pada umumnya umat Islam menganggap kalimat tersebut adalah termasuk salah satu hadits rasulullah SAW. Padahal, dalam softwere al-maktabah al-syamilah, pernyataan tersebut tidak ditemukan dalam kitab hadits mana pun. Kalimat tersebut menjadi sangat terkenal karena tertulis dalam Durratun Nashihin,  salah satu kitab yang ditulis oleh Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khubawi, seorang ulama abad 18 asal Konstantinopel (sekarang Kota Istanbul), Turki yang wafat tahun 1224 H/ 1824 M, tidak lama setelah mengarang kitab tersebut.

Meskipun kitab tersebut sangat terkenal karena menjadi rujukan mayoritas para pendakwah, khsusnya kaum tradisional, namun banyak yang menilai bahwa hadits-hadits yang dimuat di dalamnya, termasuk pernyataan tersebut, masuk dalam kategori  hadits maudhu’ (palsu). Bahkan, salah seorang Doktor alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia Fakultas Pengajian Islam bidang studi ilmu hadis, Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. juga menjadikan Kitab Durratun Nasihin sebagai objek dalam disertasinya yang berjudul “Kajian Hadis Kitab Durratun Nasihin”. Dalam penelitiannya itu, beliau menyimpulkan bahwa 30% dari total 389 hadis yang ada dalam Kitab Durrot An-Nasihin adalah hadis maudhu’ atau palsu. Dalam kajian ilmu hafdits dibedakan antara hadits “dhaif” dan hadits “maudhu”. Hadits dhaif  memang dinisbahkan kepada rasulullah SAW, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan atau pun kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sedangkan hadits maudhu' ialah informasi yang mengatas namakan Rasulullah SAW, tetapi sebenarnya “bukan” perkataan Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, saat menjadi salah satu juri pada kontes da’i di salah satu  TV swasta, beliau perlu menegur seorang peserta kontes, yang dengan percaya diri menyampaikan pernyataan ‘hadits penggembira’ beramadhan tersebut.

Bagi penekun ilmu hadits, menisbatkan suatu pernyataan palsu kepada rasulullah, betapa pun bagus isi dan redaksinya, tentu sangat dilarang. Para ahli hadits sangat sadar betapa seriusnya konsekuensi yang harus ditanggung orang yang menisbahkan pernyataan yang bukan dari rasulullah kepada beliau. Sebab, secara tegas rasulullah pernah mengancam sikap demikian. Sebagaimana, tertuang dalam hadits sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, rasulullah  SAW bersabda:“Barang siapa dengan sengaja berdusta  atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di neraka.”

Akan tetatpi, terlepas dari pro kontra seputar hadits-hadits palsu seputar ramadhan,  puasa di bulan memang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam surat al Baqarah ayat 183 Allah dengan tegas memerintahkan puasa ini kepada setiap orang beriman. Betapa pentingnya puasa ini dalam ayat tersebut, Allah juga memaklumatkan bahwa tradisi puasa itu tidak hanya diwajibkan kepada umat beriman (zaman nabi Muhammad) tetapi juga telah diwajibkan kepada umat terdahulu. Ayat tersebut ditutup dengan urgensi mengapa puasa diwajibkan, yaitu membentuk pribadi yang bertakwa.

Sejumlah hadits shahih juga tak kurang memberikan motivasi agar setiap umat Islam mau menjalankan puasa, yang menjadi salah satu rukun Islam ini.  Sejumlah kajian pun dari dulu sekarang tidak hentinya dilakukan. Berapa banyak buku agama dan para dai mengulas tentang hikmah puasa. Secara spesifik bahkan secara inter indisipliner, para ahli kesehatan juga melakukan kajian sesuai bidangnya. Dari kajian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa jika dilakukan dengan benar, ternyata puasa di samping dapat membentuk kesehatan batin (bertakwa) sebagai puncak spiritualias,  juga dapat membentuk kesehatan jasmani, seperti menurunkan gula darah, menjaga kesehatan jantung, dan sejumlah manfaat kesehatan lainnya.

Pertanyaannya, apakah puasa yang kita lakukan kita maksudkan untuk tujuan-tujuan demikian?

Dalam konteks hubungan Allah sebagai sang pencipta dan manusia sebagai hamba, perintah puasa sejatinya merupakan sebuah konsekuensi, yaitu ada predikat yang wajib disembah, sebagai konsekuensi sebagai pencipta dan predikat sebagai penyembah karena sebagai makhluq (yang diciptakan). Hukum dasar demikian tidak dapat dibantah dan oleh karenanya harus disadari oleh segenap manusia yang beriman. Dalam surat Al Bayyinah ayat 5, Allah telah menegaskan, bahwa manusia tidak diperintah menyembah kecuali melakukannya dengan ikhlas. Ikhlas, menurut Hujatul Islam Abu Hamid al Ghazali sebagaimana ditulis dalam Kitab Qami’ al-Thughyan, yaitu “Apa yang dalam tujuan amalnya, murni untuk mendekatkan diri kepada Allah” ( an yakuna ghardhuhu mahdhun al-taqarruba ilallah).

Dengan kesadaran demikian, maka semua ‘iming- iming’ pahala berupa surga dan ancaman berupa siksa neraka, bagi orang yang mencapai fase tertentu tidak akan memengaruhi sedikit pun gairah untuk menghambakan diri dengan penuh ketulusan kepada Sang Khaliq. Para tokoh sufi seperti Rabi’ah Adawiyah, Ibnu Hazim, dan lain-lain merupakan contoh-contoh manusia yang telah mencapai fase demikian. Kesyukuran mereka telah diciptakan sebagai hamba oleh Dzat Yang Maha Mulia, membuat mereka larut dalam pengabdian yang tulus. Dalam kitabnya “Al-Hikam” Syekh Ibnu Atha’illah, pernah menyindir kita demikian: "Siapa yang menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu atau untuk menghindari hukuman dari-Nya, maka ia belum menunaikan hak kewajibannya terhadap sifat-sifat Allah SWT.”

Yang lebih ekstrim adalah yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah. Sufi perempuan--yang lahir 99 Hijriah/ 717 Masehi di Basrah dan wafat 188 H/ 801 Masehi--ini pernah membuat pernyataan dalam bentuk bait syair yang terkenal sampai sekarang yaitu: “Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya; Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku dari padanya; Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkanlah aku dari padanya.” 

Dengan mengaca para “salafus salih” tersebut, jelaslah bahwa menjalankan perintah, termasuk berpuasa sebulan di bulan ramadhan ini,  sejatinya  hanya merupakan koneskuensi manusia sebagai hamba yang sudah selayaknya bersyukur karena telah diciptakan oleh Dzat Yang Maha Mulia dengan berbagai kenikamatan yang tidak terhingga. Bagi hamba dengan gradasi keimanan tinggi, “perintah dan larangan” Allah itu, secara sadar dilakukan dan dijauhi tanpa pretensi apa pun. Bahkan, andaikan tanpa surga atau neraka sekalipun. Apalagi, sekedar iming-iming hitungan-hitungan pahala yang membuat para juru dakwah sampai harus mengobral pernyataan-pernyataan  bernuansa agama dengan nekat mengatasnamakan rasulullah SAW. Wallahu a’lam.

                  

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Kata suap sudah sering kita dengar dan biasanya selalu berkonotasi negatif. Ada yang mengatakan, bahwa tindakan suap dalam berbagai bentuk, memang banyak terjadi di tengah-tengah kehidupan. Suap sudah menjadi salah satu masalah yang sangat lama terjadi dalam masyakat yang pada umumnya diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Ketika memberikan suap, penyuap biasanya bermaksud agar keinginannya tercapai, baik berupa keuntungan tertentu atau pun keinginan lainnya. Dalam konteks dunia hukum, suap biasanya dilakukan agar penyuap menang dalam berperkara atau agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Melihat maksud-maksud praktik-praktik suap demikian, maka tidaklah mengherankan, bahwa yang paling banyak di suap adalah para pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah atau siapa pun yang mempunyai kekuasaan tertentu.

Meskipun demikian, banyak orang yang belum memahami hakikat suap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), suap diartikan sebagai pemberian dalam bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri. Dalam bahasa Arab suap biasa dikenal dengan “risywah”.

Prof. Dr. Muladi, SH. pernah menulis artikel dengan judul “Hakekat suap dan Korupsi”. (www.kompas) Menurutnya,  suap (bribery) bermula dari asal kata “briberie” (Perancis) yang artinya adalah “begging” (mengemis) atau “vagrancy” (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut “briba”, yang artinya “a piece of bread given to beggar” (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya “bribe” bermakna ’sedekah’, “blackmail”, atau “extortion” (pemerasan) dalam kaitannya dengan “gifts received or given in order to influence corruptly” (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup). Dengan demikian seseorang yang terlibat dalam perbuatan suap menyuap, menurut Muladi, sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.

Melalui penelusuran makna suap tersebut, menurut mantan Rektor Undip yang pernah menjabat Menteri dan Hakim Agung itu, suap memang berkonotasi negatif. Konotasi demikian ternyata juga sejalan dengan  makna suap dalam hukum positif kita, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap (UU Tindak Pidana Suap) yang menurut Pasal 5 UU tersebut dipandang sebagai kejahatan.

Suap yang demikian itulah mungkin yang dalam konteks agama (Islam) sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” Secara khusus rasulullah pun pernah mengantisipasi suap konteknya dengan dunia penegakan hukum dengan mengatakan “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap dalam (penetapan) hukum."

Bahkan, Tsauban sebagaimana ditulis oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar ( hadits ke-4966), mengatakan, bahwa "Rasulullah SAW melaknat penyuap dan penerima suap serta mediatornya. Mediator adalah penghubung antara keduanya.”

Hadits riwayat Ahmad tersebut, memberikan gambaran bahwa praktik suap bisa terjadi tidak hanya melibatkan antara 2 pihak, tetapi bisa 3 pihak: penyuap, penerima suap, dan perantara (mediator). Akan tetapi, yang pasti ketiganya sama-sama berpotensi mendapat laknat Allah SWT. Sebagai mediator ikut mendapatkan predikat negatif sebab ia dianggap terlibat.

Jika suap menyuap merupakan kejahatan, maka pihak ketiga (mediator) yang terlibat dalam praktik kejahatan juga dianggap ikut melakukan kejahatan. Predikat demikian, tampaknya juga telah mendapat legitimasi dalil agama. Al Ghazali dalam Bidayatul Hidayah pernah mengutip sabda rasulullah SAW: “Man a’ana ala ma’shiyatin walau bisyathri kalimatin kana syarikan lahu fiha” (Barang siapa menolong timbulnya perbuatan maksiyat, walau hanya setengah kalimat, maka dia sama-sama bersekongkol sebagai pelaku maksiyat tersebut).

Meskipun demikian, apakah terminologi suap harus selalu harus dilihat dengan kaca mata  hitam putih? Jawabnya tentu bisa pro kontra. Dalam dunia yang sangat maju dengan segenap dinamika ikutannya, baik yang positif maupun negatif, kini makna suap pun tampaknya mengalami dinamika makna. Sebagai contoh, apakah ketika seorang yang memberikan sesuatu kepada pejabat demi mendapatkan sesuatu yang jelas-jelas menjadi haknya, bisa masuk dalam kategori melakukan penyuapan atau bukan. Apakah juga bisa masuk dalam kategori suap, ketika ada seorang caleg atau calon pejabat publik yang membagi-bagikan uang atau sembako kepada rakyat.

Seperti yang ditulis oleh detiknews (5 April 2019) ketika  Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman) memberikan amplop kepada seorang kiai di Bangkalan. Videonya yang merekam kunjungannya ke Pondok Pesantren Nurul Cholil (30 Maret 2019) itu menjadi viral. Banyak orang ‘nyinyir’ terhadap peristiwa itu. Padahal, memberikan ‘bisyaroh’ berupa amplop (berisi sedikit uang) saat sowan kiai, sudah menjadi tradisi yang melembaga di kalangan masyarakat santri. Motivasinya bisa bermacam-macam. Tetapi yang pasti, kiai tidak pernah minta, pemberi pun tidak pernah merasa dipaksa. Bagi masyarakat santri pemberian tersebut, lazim dilakukan hanya dengan motif “ngalap berkah”. Bagi orang non santri, pemberian itu bisa bormotivasi macam-macam: bisa politik, bantuan, hadiah, atau lainnya. Untuk disebut suap, jelas bukan.

Terlepas dari wacana di atas adalah menarik apa yang ditulis oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar  yang ditulis pada “Bab Larangan Hakim Menerima Suap dan Anjuran Menugaskan Penjaga Pintu di Majelis Pengadilannya ( Versi Terjemah: Jilid 4 halaman 658-659)”, sebagai berikut:

“….. Ibnu Ruslan mengatakan, "Termasuk kategori suap adalah suap terhadap hakim dan petugas pemungut zakat. Ini hukumnya haram menurut ijma' ulama." Abu Wail mengatakan, "Hakim yang menerima hadiah, berarti ia telah memakan yang haram, dan bila ia menerima suap, maka akan mengantarkannya kepada kekufuran. "Pensyarah mengatakan: Hadiah yang diberikan kepada hakim dan yang serupanya adalah salah satu bentuk suap, karena seseorang yang memberikan hadiah kepada hakim, jika itu bukan kebiasaannya memberi hadiah kepada hakim tersebut sebelum menjabat, berarti ia tidak memberikan hadiah itu kecuali karena suatu tujuan. Yaitu, dengan hadiahnya itu ia hendak melindungi kabatilannya atau untuk meraih haknya.”

 

Yang juga menarik ialah yang dikatakan K.H. Bahaudin Nursalim. Menurut kiai yang akrab dipanggil Gus Baha ini, ada suap yang dibolehkan. Yaitu, bila menyuap dalam rangka untuk mendapatkan hak yang jelas menjadi haknya. Bahkan, ulama muda ahli tafsir dan fikih ini, berpendapat menyuap ‘hakim dhalim’ agar hakim memenangkan perkara atas sesuatu yang memang menjadi haknya, dibolehkan. Menurutnya, batasan risywah yang diharamkan dalam hadits tersebut ialah apabila risywah itu dilakukan dengan motivasi mengubah status yang “haq” (kebenaran) menjadi batil dan yang batil menjadi “haq” (kebenaran). 

Meskipun dalam konteks fikih, suap tidak mesti harus dilihat dengan kaca mata hitam putih. Dalam konteks kasus tertentu, secara fikih, ada pendapat yang membolehkan. Antara pemberi dan penerima bisa juga bisa berbeda konsekuensi hukumnya. Penyuap tidak haram tetapi penerima dihukumi haram (Jawaz al-I’tha wahurmat al-akhdzi). Akan tetapi, UU sudah terlanjur memandang suap secara hitam putih. Bahkan, dalam konteks jabatan yang dimiliki, khusus bagi hakim menerima sesuatu dari pihak dengan dalih hadiah pun, dilarang. Apalagi, bila pemberian tersebut jelas-jelas sebagai suap. Wallahu a’lam.

Pengumuman PA Semarang

   
 

Pemberitahuan Isi Putusan



Pencarian Berita:      

Berita Pengadilan

  Artikel Pengadilan
     
‘Omelan’ Berkelas dari Seorang Perempuan

‘Omelan’ Berkelas dari Seorang Perempuan

20.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 2856
Sukacita Menyambut Ramadhan 1445 H

Sukacita Menyambut Ramadhan 1445 H

07.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 5170
Suap, Hadiah, dan Hakim

Suap, Hadiah, dan Hakim

07.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 23939
Berburu Harta (Gono-Gini) ke Pengadilan

Berburu Harta (Gono-Gini) ke Pengadilan

05.03.2024 | Arsip Artikel | Administrator
Hit: 29607
 

 

Prestasi

PTA Awards

Penghargaan atas prestasi satuan kerja peringkat pertama dengan perkara e-court banding terbanyak

PTA Awards

Penghargaan atas kepatuhan update data pada aplikasi SIKEP MA RI 100 % periode Triwulan I Tahun 2025

PTA Awards

Penghargaan atas prestasi satuan kerja dengan peraih pengharagaan terbanyak dari instansi eksternal

PTA Awards

Penghargaan atas apresiasi keikutsertaan dalam lomba design batik tahun 2025

PTA Awards

Penghargaan atas prestasi website dengan nilai tertinggi triwulan IV Tahun 2024

PTA Awards

Penghargaan atas penyerapan anggaran DIPA 01 (BUA) lebih dari 20% Periode Triwulan I Tahun 2025

KPPN II Semarang

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaab Sebagai Satuan Kerja Terbaik dalam kategori "Capaian Kecepatan & Ketepatan LPJ Bendahara Penerimaan"

KPPN II Semarang

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaab Sebagai Satuan Kerja Terbaik dalam kategori "Capaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran 2024"

KPPN II Semarang

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaab Sebagai Satuan Kerja Terbaik dalam kategori "Capaian Kecepatan & Ketepatan LPJ Bendahara Pengeluaran"

   

KPPN II Semarang

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaab Sebagai Satuan Kerja Terbaik dalam kategori "Capaian Deviasi Halaman III DIPA 2024"

PTA Semarang

 

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaan Dalam Kategori Perkara E-Court Banding Terbanyak Pengadilan Agama Sewilayah Hukum PTA Semarang Tahun 2024

 

PTA Semarang

 

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaan Terbaik II Atas Hasil Capaian Kinerja Tertinggi dalam Kategori Penyerapan Anggaran DIPA 04 Pengadilan Agama Sewilayah Hukum PTA Semarang Tahun 2024

 

PTA Semarang

 

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaan Terbaik I Atas Hasil Capaian Kinerja dalam Kategori Website Dengan Nilai Tertinggi Pengadilan Agama Sewilayah Hukum PTA Semarang Tahun 2024

PTA Semarang

Apresiasi PTA Semarang kepada Pengadilan Agama Semarang Dengan Update SIKEP Mahkamah Agung RI Nilai 100%

PTA Semarang

Pengadilan Agama Semarang Mendapatkan Penghargaan Terbaik III Atas Penilaian Prestasi Kinerja Triwulan III untuk Pengadilan Agama Kelas IA Pengadilan Agama Sewilayah Hukum PTA Semarang Tahun 2024

PTA Semarang

Ketua Pengadilan Agama Semarang (Nur Lailah Ahmad, S.H.) Mendapatkan Penghargaan Sebagai Insan Berprestasi Peradilan Agama Tahun 2024

itworks

Pengadilan Agama Semarang memperoleh penghargaan dalam kategori TOP DIGITAL Implementation 2024 # Stars 5 dalam ajang Top Digital Awards Tahun 2024

 

itworks

Ketua Pengadilan Agama Semarang Nur Lailah Ahmad, S.H. memperoleh penghargaan dalam kategori Top Leader on Digital Implementation 2024 dalam ajang Top Digital Awards Tahun 2024

 

 

PTA Semarang

Kelengkapan dan Kecepatan Pengiriman Berkas Perkara Banding Terbaik III

 

PTA Semarang

Penyerapan Anggaran DIPA 01 (BUA) Terbaik II

KPPN

Pengadilan Agama Semarang Peringkat 1 Kategori Penyampaian LPJ

KPPN

Pengadilan Agama Semarang Peringkat 1 Kategori Pengelolaan Rekening Pemerintah

 PTA SEMARANG

Piagam Penerimaan Perkara Melalui Gugatan Mandiri Terbanyak

KPPN


Piagam Penghargaan Peringkat Terbaik I Laporan Keuangan UAPPA -W Tahun 2022 Kategori III (Jumlah Satker > 35)

 

BADILAG


Piagam Penghargaan Pelaksanaan Kebijakan CCTV Online Terbaik

 

PTA SEMARANG
Piagam Penghargaan: Terbaik III
Kategori Website

 

PTA SEMARANG
Piagam Penghargaan: Terbaik II
Kategori Penerimaan E-court

KPPN Award 2023


Piagam Penghargaan: Peringkat 3
Kategori SHR Tercepat dan LK Handal

KPPN Award 2023


Piagam Penghargaan: Peringkat 3
Kategori Penyampaian Gaji Induk Tercepat

KPPN Award 2023


Piagam Penghargaan: Peringkat 2
Kategori IKPA Terbaik SATKER KECIL

PTA SEMARANG


Piagam Penghargaan: Terbaik I
Kategori Pelaksanaan Delegasi Periode Triwulan III 2022

PTA SEMARANG


Piagam Penghargaan: Terbaik I
Kategori Kelengkapan dan Kecepatan Pengiriman Berkas Perkara Banding
Periode Triwulan III 2022

KEMENTRIAN KEUANGAN


Piagam Penghargaan: Peringkat II
Kategori Penilaian IKPA Triwulan III Tahun 2022

   

PTA SEMARANG


Piagam Penghargaan: Terbaik III
Kategori Website

   
     
     

 


Slider
Don't have an account yet? Register Now!

Sign in to your account

Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech