Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di Website Pengadilan Agama Semarang Powered By GSpeech
  Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech
 

 

Pengesahan RKUHP Dan Peradilan Agama

Posted in Arsip Artikel

https://beritalima.com/wp-content/uploads/2022/10/Asmui-Syarkowi.jpg

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Sebagaimana kita ketahui bahwa hari Selasa tanggal 6 Desember 2022 bangsa Indonesia mencatat satu lembaran sejarah di bidang hukum, yaitu disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru. Di dalam rapat pari purna, para wakil rakyat–yang menurut catatan Kompas.com (06/12/2022) dihadiri oleh 60 anggota DPR RI secera fisik dan sebanyak 237 hadir virtual—ini diketahui seluruh anggota yang hadir menyetujui RUU KUHP untuk disahkan menjadi undang-undang menggantikan KUHP lama yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS). Jika KUHP lama mulai diberlakukan sejak tahun 1918, maka usianya sampai tahun 2022 berarti sudah 104 tahun. Dengan kalimat lain, bangsa Indonesia selama 104 tahun memakai hukum pidana Belanda, suatu masa yang tentu bukan singkat.

Dengan usia yang sudah satu abad lebih, maka wajar jika UU tersebut sudah saatnya ditinjau lagi, terutama jika dikaitkan dengan sosiologi hukum. Bukankah hukum dibuat, salah satunya untuk mengatur masyarakat, sedangkan dalam rentang seabad lebih itu, kini masyarakat telah berubah sama sekali? Apalagi, jika dilihat dari aspek pembuatnya. WvS yang dibuat oleh Belanda untuk masyarakat jajahan tentu berbeda paradigmanya ketika diterapkan kepada rakyat di era kemerdekaan. Meskipun demikian, KUHP baru yang disahkan pada minggu-minggu pertama Desember 2022 ini, baru akan berlaku tiga tahun sejak disahkan. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly pun, telah mengatakan, bahwa tiga tahun adalah waktu yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap para penegak hukum dan stakeholder.

Di saat para wakil rakyat telah menunjukkan kegembiraannya karena telah berhasil menyelesaikan sebuah karya besar, ternyata masih ada saja kelompok yang tidak puas. Segera setelah disahkan, sejumlah reaksi muncul. Mereka pun mengidentifikasi sejumlah pasal yang menurut mereka harus ditinjau ulang. Setidaknya terdapat sejumlah pasal bermasalah yang mereka identifikasi yaitu: penghinaan presiden, makar, hukuman koruptor, pidana demo tanpa pemberitahuan, vandalism, pidana santet, penyebaran ajaran komunis, dan lain-lain. Mereka pun mengungkapkan sejumlah kekhawatiran jika pasal-pasal yang mereka curiagai itu dipaksakan untuk diberlakukan.

Jika ‘protes’ itu muncul dari para kelompok anak bangsa mungkin tidak mengherankan kita. Karena, UU mengatur seluruh rakyat maka rakyat memang berpekpentingan terhadap eksistensi UU tersebut. Ternyata ‘keberatan’ itu juga muncul dari luar negeri. Sebagaimana kita ketahui, Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia (PBB) juga menyatakan keprihatinannya atas pengesahan sejumlah pasal dalam KUHP yang direvisi. Meskipun tidak secara detail menyebut pasal-perpasal, PBB mengaku khawatir. Beberapa pasal dalam KUHP yang baru direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan prinsip dasar hak asasi manusia (HAM). Di antaranya, hak atas kesetaraan di hadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi dan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi. Beberapa pasal menurutnya berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. Pasal lainnya mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada perempuan, anak perempuan, anak laki-laki, serta minoritas seksual dan akan berisiko mempengaruhi berbagai hak kesehatan seksual dan reproduksi, hak privasi, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Ada juga pasal lainnya yang berptensi melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka. Keprihatinan PBB ini juga disampaikan para pakar Hak Asasi Manusia PBB dalam surat yang dikirim ke pemerintah.

Terlepas pro dan kontra terhadap pasal-pasal ‘kontroversial’ yang ada, suatu UU merupakan salah satu bentuk hukum tertulis. Kita tentu ingat kalimat bijak tentang hubungan hukum dan penegak hukum sebagaimana dikemukakan Bernardus Maria Taverne (1874-1944): “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun.” Dengan demikian, oleh karena UU hanya barang mati dan yang menghidupkannya adalah para penegak hukum, maka sejatinya penegak hukum di lapangan itulah yang paling berpengaruh baik tidaknya sebuah penegakan hukum, dalam hal ini penegakan hukum pidana di Indonesia.

Lantas apa kaitannya dengan eksistensi Peradilan Agama? Berbicara tentang Peradilan Agama tentu tidak bisa dilepaskan dengan kinerja dan dan aparatnya. Kinerja dan aparat peradilan agama yang juga beraktivias di bidang hukum yang salah satu objeknya ialah pelayanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Apa yang terjadi dalam narasi di atas, membuktikan mengenai 3 hal, yaitu: Pertama, bahwa memang sulit membuat sebuah aturan mengenai apapaun menyangkut hukum yang dapat memuskan semua pihak. Suatu peraturan yang dibuat oleh institusi yang berwenang, mungkin dapat memuaskan satu kelompok, tetapi pasti belum tentu dapat memuaskan kelompok lain. Apalagi, dalam konteks sebuah negara besar yang hiterogen dengan ‘sejuta’ ragam suku bangsa seperti Indonesia. Demikian pula mengenai kinerja peradilan, khususnya hakim. Suatu putusan sejatinya secara fungsi, juga merupakan hukum bagi para pihak yang mengajukan perkara. Ketika putusan dijatuhkan pasti dianggap adil dan oleh karenanya dapat memuaskannya bagi yang kebetulan menang, tetapi pasti dianggap tidak adil bagi yang kalah. Diktum putusan hakim dengan diksi “menolak” atau “mengabulkan” sering tidak bisa memuaskan dua belah pihak dalam waktu bersamaan. Hakim sering tidak dapat menghindar dari 2 kutup ekstrim tersebut. Satu-satunya upaya hakim, dalam situasi demikian, hanya memperhalus narasi petimbangan. Dan, agar bisa demikian, juga diperlukan riyadhah (latihan panjang) ‘bermain’ kalimat untuk dituangkan sebagai narasi pertimbangan hukum.

Kedua, bahwa di tengah dunia yang sudah mengglobal ini, tidak satupun negara berikut praktik kenegaraannya dapat bersembunyi dari media dunia. Hal demikian sudah tentu juga berkalu bagi peradilan agama. Kinerja aparat peradilan agama di bidang hukum juga akan selalu disorot oleh dunia. Apalagi, dengan obsesi kita yang ingin menjadikan peradilan agama berkelas dunia. Dinamika masyarakat yang semakin tinggi akan berakibat beragamnya variasi problem yang menyangkut hukum keluarga. Apabila hal demikian tidak diantisipasi oleh aparat peradilan agama dikhawatirkan akan mengakibatkan aparat peradilan agama dalam posisi tidak siap. Begitu kita salah mengelola penanganan perkara gaungnya, dalam hitungan menit, tidak saja hanya berskala regional atau nasional, tetapi juga internasional.

Ketiga, bahwa ketika terjadi pergulatan antara aturan dan SDM, maka SDM lah yang akan menjadi faktor determinan. Sebagaimana juga kita ketahui, saat ini aturan hukum yang berkaitan dengan kewenangan peradilan agama, tidak semua telah dibuat dalam bentuk hukum tertulis, seperti undang-undang atau hukum tertulis lainnya. Untuk mengisi kekosongan itu, Mahkamah Agung sering mengisinya dengan membuat aturan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Akan tetapi sering pula dinamika hukum yang berkembang cepat, tidak secepat penerbitan SEMA. Di lapangan sering aparat peradilan agama, dalama hal ini hakim, berijtihad mengenai kasus yang sedang dihadapi. Akhirnya, terus belajar dan berbenah diri merupakan hal urgen sebagai upaya mengasah kemampuan guna menutup semua ruang kosong tersebut.


Slider
Don't have an account yet? Register Now!

Sign in to your account

Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech